MPO2888 -Meletakkan Toko Sidodadi Ke dalam Kotak Kenangan

“Eh, kampret ya lu,” celetuk Roland saat dia melihatku mengambil sebotol minuman dingin. Sebelumnya, aku sudah membuka sebungkus Oreo, bolu keju, dan cemilan-cemilan lain yang rasanya asin-gurih. 

“Dih, pelit!” balasku, lalu kuberjalan lagi ke sudut sebelah, mencari-cari cemilan lain yang bisa kuambil tanpa bayar. 

Adegan ini selalu terjadi saat aku singgah ke Sidareja di Cilacap dan telah berulang selama belasan tahun. Roland dan aku meski sama-sama Tionghoa, tapi beda jenis. Aku masuk golongan Citato, alias Cina Tanpa Toko, sehingga main ke toko Sidodadi milik Roland jadi hiburan tersendiri atas statusku yang tidak memenuhi stereotip. 

Toko Sidodadi tidaklah istimewa-istimewa amat. Ia hanya toko kelontong biasa yang berdiri di tepi jalan raya Kedungreja-Pangandaran. Catnya dominan putih dengan spanduk sponsor sedikit menutupi pandangan. Terpasang etalase kaca panjang berisi aneka benda: bedak, kertas cerutu, korek api, hingga kemenyan. Di sisi seberang etalase, ada rak-rak tembakau dan barang sembako seperti gula, tepung, telur, dan beras. Sebuah meja kecil dengan kursi kusam diletakkan di tengah-tengah toko, di sinilah Roland dan mamanya bergantian melayani pembeli yang selalu saja datang, dari pagi-siang-maghrib sampai jelang tutupnya toko di jam delapan. 

Bersama Roland, sang juragan kelontong.
Etalase rokok.

Namun, sebagaimana ungkapan yang berkata tak ada yang berlangsung selamanya di bawah matahari, perjalanan Toko Sidodadi akan menemui ujungnya di tahun 2025 ini. Prosesnya tidak datang tiba-tiba. 

Sejak kami lulus kuliah di Jogja, aku dan Roland mengambil jalan hidup yang berbeda. Aku melanjutkan hari dengan merantau ke Jakarta, sedangkan Roland kembali ke Sidareja untuk meneruskan toko kelontong keluarganya. Apakah tidak ada niatan kerja dulu buat Roland? Tentu ada. Aku pernah menolongnya mengulas lembaran CV dan portofolionya untuk dikirimkan ke beberapa perusahaan. Tapi, agaknya jalan terbaik bagi Roland memang berada di desa. 

Sepeninggal papanya, Roland tinggal berdua saja dengan mamanya. Kedua kakaknya sudah menikah dan ikut suami mereka. Praktis, hanya Roland yang menjadi tumpuan bagi sang mama di usia senjanya. Tapi usia tua seringkali mengundang tamu berupa kekuatan tubuh yang makin merosot. Mamanya harus berjuang dengan komplikasi diabetes dan gangguan jantung yang menuntut perawatan rutin. Sayangnya, akses pengobatan tak semudah itu. Rumah sakit rujukan ada di Purwokerto—minimal dua jam perjalanan dari Sidareja. Tanpa mobil pribadi dan minim transportasi umum, mereka harus menyewa mobil setiap bulan hanya untuk kontrol. Merepotkan, dan tentu mahal.

Sementara itu, toko kelontong mereka—meski dari luar tampak ramai—perlahan mulai meredup. Modernisasi pelan-pelan mengubah pola belanja masyarakat desa. Kehadiran swalayan membuat pelanggan berpindah. Tentu, jika mau diusahakan, toko Sidodadi masih bisa bertahan. Tapi setelah banyak pertimbangan, keluarga Roland akhirnya memilih langkah yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya: menjual toko dan pindah ke kota demi pengobatan mama dan peluang hidup yang lebih luas.

Toko Sidodadi telah berjasa besar buatku. Setiap kali aku penat di Jakarta, aku bisa menumpang ‘pulang’ barang sebentar. Menikmati interaksi kehidupan desa, duduk santai di persawahan belakang toko, atau main ke Pantai Pangandaran yang jaraknya 40 menit berkendara motoran. Berkunjung ke Sidodadi dan menjumpai sosok teman yang setia itu seperti ruang transit bagiku—bukan rumah sendiri memang, tapi mengingatkanku selalu bahwa hidup tak selalu tentang buru-buru dan pencapaian. 

Jika uang dan status jadi satu-satunya tolok ukur kesuksesan, maka aku dan Roland jelas masuk daftar yang apes—umur sudah kepala tiga, mobil belum punya, tabungan miliaran pun masih jadi wacana. Tapi untungnya, hidup terlalu luas untuk dikecilkan hanya sampai ke angka dan aset. Dalam keseharian sebagai penjaga toko, Roland belajar setia: membalut luka-luka di kaki mamanya akibat metabolisme gula yang rusak, menemani mamanya ngobrol di sela melayani pembeli. Semua hal ini mungkin tak akan tercatat di dunia kita yang sibuk, tapi aku percaya, Tuhan tidak memanggil kita untuk sekadar sukses, melainkan untuk setia.

Dalam salah satu perumpamaan yang tercatat dalam Injil, dikisahkan tentang seorang tuan yang hendak pergi jauh (Matius 25:14–30). Sebelum berangkat, ia memanggil tiga hambanya dan mempercayakan harta kepadanya—masing-masing diberi lima, dua, dan satu talenta. Talenta di masa itu bukan sekadar bakat seperti yang kita pahami sekarang, tapi satuan nilai yang sangat besar, semacam simbol dari kepercayaan dan tanggung jawab.

Si tuan tidak memberi jumlah yang sama, tapi ia memberi “menurut kesanggupan masing-masing.” Dan menariknya, ketika ia kembali dan meminta pertanggungjawaban, pujian yang ia berikan bukan untuk jumlah hasil yang besar, melainkan untuk kesetiaan. Baik yang menghasilkan lima maupun dua, ia memuji mereka dengan kata-kata yang sama: “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia.” Sang tuan tidak membandingkan siapa yang lebih untung, siapa yang lebih spektakuler. Ia menilai dari bagaimana para hamba setia mengelola apa yang dipercayakan kepadanya.

Perumpamaan talenta juga mengingatkanku pada satu momen lain dalam Injil Yohanes 9:1–3, saat Yesus dan murid-murid-Nya berjumpa dengan seorang buta sejak lahir. Para murid langsung bertanya, “Siapa yang berdosa, dia atau orang tuanya?”—seolah penderitaan harus selalu ada penyebabnya. Tapi Yesus menjawab bahwa kebutaannya bukan karena dosa siapa pun, melainkan supaya pekerjaan Allah dinyatakan dalam hidup orang itu.

Dalam bahasa asli yang digunakan, muncul dua kata berbeda untuk kata “melihat.” Murid-murid memakai kata blepō yang berarti melihat dengan mata, secara fisik. Tapi ketika Yesus melihat orang itu, digunakan kata horaō—melihat lebih dalam, dengan hati dan pemahaman rohani.

Buatku, ini mengandung pesan yang luas dan sangat manusiawi. Bahwa hidup bukan hanya tentang seberapa banyak yang kita capai, tetapi seberapa setia kita menjalaninya—terutama dalam hal-hal yang tampak sederhana dan tidak dianggap istimewa oleh dunia. Membuka toko kelontong, merawat orang tua, hadir sebagai teman di saat senang atau susah—mungkin bukan pencapaian yang viral atau diburu banyak orang, tapi bisa jadi itulah bentuk kesetiaan yang dilihat dan dihargai oleh Yang Mahatahu.

Kini, Toko Sidodadi akan tutup dalam hitungan hari. Aneka barang dagangan yang jadi latar banyak obrolanku dan Roland akan kosong dan lenyap dari hidup kami. Persahabatan kami tak akan bubar, tentu saja, tapi aku tahu ada bagian kecil dalam hidup yang tak bisa kembali sama.

Perubahan sering datang tanpa mengetuk pintu—menggeser hal-hal yang akrab jadi kenangan. Tapi hidup memang begitu: dinamis, tak statis. Dan tugas kita bukan menggenggam yang lama terlalu erat, tapi tetap setia di tengah perubahan—terus melangkah, meski yang dipercayakan kini datang dalam bentuk yang berbeda, mungkin lebih kecil, mungkin tak terlihat, tapi tetap berarti. Sebab, dalam terang pengajaran iman yang kupegang, yang dilihat dan dihargai bukanlah seberapa besar pencapaian, tapi seberapa setia kita merawat bagian yang dipercayakan.

Entah ke mana langkah berikutnya akan membawa kami—Roland dengan hidup barunya di Jogja, aku dengan ritme Jakarta yang terus menuntut. Tapi yang pasti, kami melangkah bukan dengan tangan kosong. Kami membawa kenangan, dan lebih dari itu: semangat untuk tetap setia, bahkan dalam hal-hal yang tampaknya biasa.

Merayakan pertemanan!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *