Putra, kawan kantorku yang berbeda departemen, mengiyakan ajakanku untuk pergi menyambangi kuburan Bosscha di Pangalengan. Tak sulit untuk kami menyatukan jadwal. Hanya dalam diskusi kurang dari lima menit, kami sepakat menjadikan akhir pekan kedua Oktober sebagai hari petualangan bersama.
Di hari H, perjalanan dimulai dengan makan kupat tahu pagi-pagi di pertigaan jalan Sudirman-Suryani. Setelahnya, kami melesat di atas motor matik pinjaman milik iparku. Kami meninggalkan area industri yang padat dan sesak di sepanjang Kopo sampai Banjaran, menyusuri jalan-jalan meliuk di kaki bukit sampai tiba di Pangalengan.
“Gila ya, elu!” kataku sambil menepuk pundak Putra. Suaraku kalah dari deru mesin truk dan angin.
“Hah!?”
Kuulangi kalimatku, tapi kali ini dengan memajukan posisi duduk dan mendekatkan kepalaku ke samping helmnya. “Gila, sangar juga bawa motornya! Pelan-pelan ah…”
Putaran gas pun dia kurangi. Kami membiarkan truk yang asapnya bau itu untuk melesat duluan di depan kami. Tak masalah jadi lebih lambat, karena sekarang di sisi kanan, kami bisa melihat lebih jelas pucuk-pucuk bukit yang pada bagian badannya telah kehilangan area hutan, disulap menjadi perkebunan lahan miring.

Selepas Pangalengan, kami akhirnya dimanjakan dengan area perkebunan teh yang luasnya lebih dari 2 ribu hektar. Di kiri kanan jalan aspal tak ada lagi permukiman warga. Kebun teh dengan dedaunan hijaunya tampak seperti hamparan permadani raksasa. Kira-kira dua kilometer dari tugu penanda area kebun, tibalah kami pada makam Karel Albert Rudolf Bosscha. Dia lahir pada tahun 1865 dan meninggal di tahun 1928. Bila dalam buku sejarah zaman sekolah dulu kita diajar bahwa penjajahan Belanda itu kejam, hidup Bosscha menyajikan narasi yang berbeda.
Sebelum menuduh aku pro-Belanda, aku hanya ingin menegaskan bahwa dunia tidak hitam-putih. Yang buruk tak seluruh dan selamanya buruk, demikian juga yang baik. Pasca pemerintahan kompeni, wilayah jajahan di timur Hindia diambil alih oleh Kerajaan Belanda yang menandai era baru dalam kolonialisasi Nusantara, khususnya tanah Jawa.
Kala itu hasil perkebunan adalah bisnis yang menguntungkan. Pada Agustus 1896, Bosscha mendirikan perkebunan teh di kaki gunung Malabar. Sepak terjang seorang Bosscha tak cuma pada perkebunan, dia ikut andil dalam pendirian sekolah teknik di Bandung yang kini kita kenal dengan ITB. Dia juga seorang tuan yang baik. Pada tahun 1901 dia mendirikan Vervolog Malabar, sekolah khusus bagi anak-anak buruh perkebunannya.
Tahun ini, telah 94 tahun Bosccha berangkat menuju peristirahatan kekalnya. Aku duduk di tepi pusaranya yang dibuat lingkaran dengan atap yang juga membulat. Area pemakaman ini bercat putih dan dikelilingi pepohonan tinggi menjulang. Dua orang penjaga dengan telaten merawat makamnya dan bermurah hati mengajak kami ngobrol.
“Sampai hari ini masih banyak orang yang datang ngembang ke sini,” tuturnya.
“Keluarganya bukan, mang?”
“Bukan, tapi dia mah orang baik. Makanya orang tetep inget sama dia.”


Baik. Kata ini menarik di telingaku. Sepeninggal orang mati, namanya akan lenyap ditelan waktu. Kenangan akan kebaikan atau kejahatannya saja yang membuat seseorang jadi abadi dalam memori. Sementara Putra mengambil kameraku untuk menjepret beberapa foto, aku menarik keluar buku jurnalku dari dalam tasku. Kutuliskan sedikit catatan tentang perjalanan hari ini, tentang betapa beruntungnya sosok Bosccha yang makamnya diliputi kerindangan.
Aku pun menyadari satu kebaikan lagi hari ini, bahwa memiliki teman sekerja yang bisa jadi teman seperjalanan adalah sesuatu yang agaknya disangsikan oleh sebagian orang pada zaman ini. Di media sosial atau pun obrolan dengan rekan-rekan satu alumni, tak jarang aku mendengar wejangan agar dengan teman kantor cukup jadi teman sampai jam lima sore. “Cukup kerja, terus pulang!” begitu katanya.
Meskipun kuyakin wejangan itu ada sisi benarnya, tetapi aku jadi terusik. Aku coba mencerna pelan-pelan setiap kekesalan dan ketakutan yang tertulis di komen-komen warganet atau curhatan temanku. Bila kerja dalam seminggu adalah 40 jam, maka kita punya kira-kira lima hari untuk berinteraksi dengan mereka. Aku tidak menolak konsep bahwa tidak semua teman kerja cocok jadi teman di luar kerja. Tapi, aku tidak setuju sama sekali bila ketakutan ini menguasai hati dan menjadikannya pahit. Bukankah akan lebih baik bila rekan kerja bisa juga menjadi rekan seperjalanan?
Tapi, aku tidak berhak menghakimi pahit hatinya setiap orang. Ada banyak kisah dan luka yang mungkin tak kutahu dan pahami.
Pertemananku dengan Putra dan banyak orang di sekitarku tidaklah sempurna, ada drama-drama yang kadang menyertai karena kita semua adalah manusia berdosa yang dalam hatinya punya pergulatan terus-menerus antara memilih yang baik dan jahat.
Namun, buatku sendiri, aku harus dan akan selalu memilih kebersamaan daripada keterasingan; ketenangan daripada keriuhan; dan pengampunan daripada penghukuman.
Aku mengucap syukur dan berbahagia atas perjalanan hari ini.
Tabik.

Tinggalkan Balasan